Jumat, 07 Maret 2014

Labelisasi Perindustrian NIP Produk PC Rente Ekonomi Biaya Tinggi ?

Subject: [APWarnet] rencana Stikerisasi lagi untuk produk TI cenderung beban dan (rente) ekonomi biaya tinggi

Beberapa hari yg lalu kami diundang Kadin bidang Telematika untuk rapat di Menara Kadin LT 29 (Ruang Rapat III)  membahas usaha stikerisasi komputer notebook baru, yang kabarnya untuk melindungi konsumen dan mengurangi penyelundupan ?
Dibawah ini adalah komentar dan tanggapan kami terhadap diskusi yang berlangsung saat itu ( 6 March 2014 jam 10.00 - 12:00) 

1. Kemungkinan Ekonomi Biaya Tinggi bagi Industri dan Konsumen?

Untuk pertemuan ini, kami mewakili Mastel bidang Industri bersama Ketum Mastel (Dr Setyanto Santoso),  Eddy Thoyeb dan  Ardi Sutedja. Mastel sebagai pemprakarsa  adanya dialog Kadin Mastel ini segera mungkin, karena Mastel memang concerned dengan banyak regulasi-regulasi yang tumpang tindih dalam hal ini stikerisasi/labelisasi, tanpa koordinasi yang jelas dan cenderung merepotkan industri dan pasarnya,
Tentu Mastel di dasari atas complain dan  masukan dari beberapa merek prinsipal produk notebook (anggota Mastel)  yang juga merasa bahwa usulan stikerisasi baru NIP (Nomor Identifikasi Perindustrian)  ini hanya akan menambah beban kepada industri, artinya tentu juga kepada konsumen yang akan menanggung  efek "Ekonomi Biaya Tinggi".
Jadi agak aneh ketika dikatakan oleh Kadin dan Asosiasi AITI bahwa prinsipal merek luar negeri yang menginginkan stikerisasi ini.
Catatan: Untuk konfirmasi, kemudian memang kami konfirmasi dan berbicara dengan  wakil dari Apple dan  beberapa merek terkenal dibawah koordinasi Kadin AS, dimana mereka semua menolak dan merasa stikerisasi hanya  membebani dan menambah repot industrinya (ekonomi rente) serta beban bagi konsumen produk IT.
 
Jadi tidak ada alasan bahwa stikerisasi ini malahan akan menarik investasi asing, karena investasi asing (FDI) maupun investasi dalam negeri (PMDN)  dan UKM sudah gerah dengan model ekonomi biaya tinggi seperti stikerisasi, labelisasi dan sertifikasi yang tumpang tindih. (All hindrance  and barrier to entry (import) will cause economy rente dan high cost economy dan menghambat pembangunan).

2. Perlindungan Konsumen hanya jargon

Bagaimana bisa melindungi konsumen jika proses pemberian stiker NIP baru ini tanpa ada badan uji oleh instansi teknis yang memeriksa kelayakan stikerisasi industri NIP (Nomor identifikasi PerIndustrian oleh Kementrian Perindustrian) ini ?

Pertanyaan kami:      Apa yang akan dilindungi ?

Apabila dikatakan melindungi dari paralel import atau penyelundupan, maka  regulasi Kementrian Perdagangan (Kemdag) sudah cukup efektif untuk melindungi konsumen meskipun biaya cukup mahal dan juga kerugian di waktu.  Regulasi Kemdag ini juga  untuk melindungi konsumen dengan memanfaatkan label Postel, artinya pada stiker Postel ini masih ada koordinasi antara Kemdag selaku Regulator/Kebijakan Import Ekspor (perdagangan luar negeri) dengan bea cukai dan Kominfo sebagai regulator teknis yang akan menguji produk yang diberi Label Postel.
Untuk label Kemdag/Postel ini saja para importir sudah dikontrol dan harus terdaftar menjadi IT (Importir Terdaftar).
Sertifikat yang sudah terlebih dahulu efektif di Kemdag/Postel ada dua macam, yaitu Sertifikat Postel A dan B. 
Sehingga mulai tahun lalu  Prinsipal dan pabrikan produk elektronik harus mendaftarkan dan menguji produknya untuk mendapatkan Sertifikat A, ini baru upaya perlindungan konsumen melalui pengujian, tidak asal mendaftar dan dapat stiker seperti model stiker NIP  dari KemPrin.
Lalu Setelah produk dari Prinsipal/Pabrikan lulus sertifikasi Postel A, maka giliran IT ( importir terdaftar) diminta mendaftarkan barang yg di impor dan menguji sekali lagi untuk mendapatkan sertifikat B, agar bea cukai bisa mengeluarkan barang yg di import dan sudah disertifikasi B dan kemasannya diberi label serta berbahasa Indonesia ( termasuk manual dan kartu garansi) sesuai aturan Kemdag. 
Stiker Kemdag ini saja sudah merepotkan importir IT sejak tahun lalu, karena harus memiliki dua sertifikat postel A dan B sebelum mulai melakukan impor barang.  
Semestinya menurut pandangan kami,  cukup satu sertifikat A saja atau dilengkapi dengan sertifikasi B, namun untuk sertifikat B nya tidak perlu lagi ada pengujian, karena tumpang tindih dengan pengujian yang dilakukan oleh prinsipal/pabrikan pad sertifikasi A.
Ini tujuannya sudah untuk memfilter importir abal abal yang sebelumnya banyak sekali dan juga penyelundupan.
Jadi stiker/label postel dari kemdag ini sebetulnya sudah cukup baik meskipun cukup merepotkan dan biayanya juga mahal dan banyak prinsipal besar harus menganggarkan dana miliaran untuk labelisasi Postel ini, belum lagi berapa banyak Importir Terdaftar (IT)  yg juga harus menyumbang pendapatan negara melalui sertifikasi B ini.

Maka ketika ada lagi usulan stiker/label hologram NIP oleh Kemprin, hasilnya  adalah tumpang tindih dan stiker baru NIP ini tidak akan dapat memberikan perlindungan tambahan pada konsumen,  karena NIP ini malah tidak melalui proses pengujian sama sekali, apa lagi dicetak oleh sebuah asosiasi baru ?
Jadi pertanyannya:  Apanya yang mau dilindungi oleh stiker NIP ini ?

3. Tumpang tindih dan Ego sektoral Kementerian

Semestinya jika sudah ada stiker postel hasil koordinasi Postel/Kominfo, Kemdag dan Bea Cukai melalui National Single Windows ( NSW), kenapa Perindustrian ingin menambah tumpang tindih nya stiker dan label untuk produk Notebook, yang menambah beban industri ?
Sepertinya ini masalah ego sektoral dimana semua kementrian ingin berperan dengan mengeluarkan kebijakan nya sendiri sendiri dan akhirnya yang jadi beban adalah industri menjadi ekonomi biaya tinggi dan tumpang tindih peraturan.


Pertanyaan masyarakat, Kenapa Kemprin tidak melakukan koordinasi dengan Postel, Kominfo dan Perdagangan untuk menyatukan kebijakan terintegrasi dalam satu stiker yang sudah ada ? Memanfaatkan NSW, apalagi Asean economic community sudah diambang pintu ?
Karena upaya pendaftaran perusahaan industri, pabrik vendor yg ada di usulan stiker NIP mubazir dan  sudah dilakukan 90% oleh label Postel yang sudah berjalan lebih dari setahun. Jika seandainya ada yg kurang, yah disempurnakan, masak tidak ada koordinasi Kemprin dan Kemdag ?

    Ini salah satu bukti tidak adanya koordinasi antar instansi bahkan dibawah satu Menko Ekuin pun ?

4. Vendor Driven dan yang ditunjuk asosiasi baru yang tidak jelas ?

Ada lagi yang unik karena ternyata usulan stiker NIP ini adalah dari sebuah asosiasi yang kami sendiri tidak tahu dan tidak pernah ikut rapatnya, padahal banyak asosiasi lain yang lebih bonafide, lama dan diakui oleh Pemerintah seperti Mastel, Apkomindo, APJII ataupun KADIN.

Agak aneh jika sebuah kebijakan pemerintah di drive atau di dorong oleh vendor melalui sebuah asosiasi , apalagi jika asosiasi ini baru ?
Semestinya sebuah kebijakan di uji publik oleh semua kementrian dibawah koordinasi Menko dan dilibatkan Kementerian teknis nya baru kebijakan itu keluar, bukan ujug ujug di drive oleh sebuah asosiasi baru beberapa tahun lahir di NKRI ?

5. Alasan Menarik Investasi Asing ?


Investasi asing (PMA) /FDI dan juga investasi dalam negeri (PMDN) itu baru mau masuk jika kita di NKRI memiliki peraturan yang tidak ber ubah ubah dan selalu konsisten, tidak berubah karena di drive oleh kepentingan kepentingan golongan. Istilah investasinya: Uncertainty of Law and Order.

    Jadi kalau peraturan berubah2 dan ditambah tambah maka industri akan jadi repot dan yang ada adalah ekonomi biaya tinggi (istilah Investasi nya: High Cost Economy atau Economic Rent).
Kalau kita ingin industri kita kondusif maka semua High cost economy, economy rent berdasarkan stikerisasi kalau perlu dihilangkan dan semua peraturan tumpang tindih (overlapping) harus dihilangkan baru FDI dan PMA maupun PMDN mau investasi di bumi Nusantara.




Semestinya asosiasi terkait, Kadin, Mastel bukan bicara menambah pelik birokrasi, economy rent dengan stikerisasi, tapi malah mengupayakan pemberdayaan, insentif, fasilitator sebagai berikut:
A. Memberi insentif UKM dengan pajak PPN yang lebih murah dan final, contohnya seperti PPH UKM yang dibuat final cuma 1.5% (peraturan 2014 perpajakan). UKM adalah soko guru industri dan pasar dunia (bukan cuma NKRI).

B. Jangan membebani dengan PPH import yang dinaikkan dari 2.5% menjadi 7.5% karena belum ada penghasilan dan keuntungan, pengusaha dan importir sudah harus membayar sekarang 7.5% plus PPN Import 10% total 17.5% artinya baru import saja negara sudah mengambil ekonomi rent 17.5% dan pertanyaanya berapa pengusaha harus ambil keuntungan agar harga barang tidak mahal di pasar ???
Kalau alasannya ingin menurunkan import, maka yang perlu di naikkan adalah pajak barang mewah PPN BM Import bukan PPH Import ??? Kok sangat tidak bijak cara berpikirnya kebijakan Kementerian keuangan dan pajak ini ? Gimana DPR ? Karena kalau yang diimpor adalah komputer yg sudah bukan barang mewah dan harus di markup minimal 17.5% utk setor ke negara berupa pajak impor... ini ekonomi biaya tinggi. Kalau Roll Royce atau Lamborghini yang dikenakan pajak tinggi... its OK... kami pun semua setuju. Jangan komputer yg nanti dipakai oleh UKM, guru dan anak sekolah dong ? Dimana sih kebijaksanaan yang namanya pemerintah dengan peraturan 2 seperti ini.
catatan: namun tidak semua kebijakan jelek, kebijakan PPH final UKM menjadi final 1.5% dan pagu pendapatan UKM disesuaikan... ini kebijakan yang bagus sekali..tinggal diteruskan juga untuk kebijakan PPN untuk UKM juga dibuat final.

C. Kebijakan lucu yang menyebabkan tidak ada industri, adalah bea masuk sparepart/suku cadang/ komponen bisa lebih mahal dari barang jadi (finish good), sangat aneh ?
Lebih aneh Kementerian Perindustrian membiarkan ini sehingga industri kita sejak dulu kaga maju maju, malah keluar kebijakan ekonomi rente dengan stikerisasi label NIP ini ?

Blog ini kami buat setelah mengikuti rapat koordinasi Mastel-Kadin.
Semoga email ini memberikan masukan baik kepada Kementerian Perindustrian, Kementrian Keuangan (Pajak dan beacukai), anggota DPR, Kemdag dan kementrian teknisi terkait kebijakan import, sertifikasi dan labelisasi produk.

Hormat kami,
Jakarta, Maret 8, 2014

Rudi Rusdiah -
Ketua Bidang Industri Mastel;
Caretaker/DPA Apkomindo;
 Ketua APWKomitel; dan pelaku industri telematika aktif.

Pertemuan-pertemuan yang kami lakukan sekitar stiker ini:
Pertemuan Kadin Mastel 6 Maret 2014 di kantor Kadin
Pertemuan dengan Deputi Menko Ekuin LT 5 Lapangan Banteng.
Pertemuan  dengan Apple dan konsultan hukum serta Kadin AS  10 Maret 2014
Pertemuan dengan Apkomindo Internal  Selasa 11 Maret 2014 Surat Posisi Apkomindo kepada DPD -DPD dan Anggota mengenai ketegasan Apkomindo menolak stikerisasi dan labelisasi.
Pertemuan koordinnasi Mastel - Apkomindo Rabu 12 Maret 2014 dimana masing- masing akan membuat surat ke kementerian terkait.
Pertemuan kedua dengan perwakilan dari Apple Rabu 12 Maret 2014.

Tanggapan dari Milis Milis:
====
Milis Apkomindo:
From: Hansen <hans.pacific@gmail.com>
To:  <apkomindo-anggotapusat@yahoogroups.com>

Dagelan apa lagi ini by Aiti dan Kadin?
Point2 yang bapak Rudi sebutkan ini, apa sudah disampaikan ke kadin telematika sewaktu meeting kemarin?

Hansen
====
From: Eddy Setiawan <eddysetia@gmail.com>
To: Mastel Anggota <mastel-anggota@yahoogroups.com>


Budaya tukang palak pak Rudy, disemua kementrian peace ...

Powered by T-sel BlackBerry®
 =====
From: Rudy_Hendarto <rudy_hendarto@telkomsel.co.id>
To:  <MASTEL-ANGGOTA@yahoogroups.com>



Hahahaha....

From: Eddy Setiawan
Sent: Saturday, 8 March 2014 11:44
To: Mastel Anggota

Bos ... Bos ... Cepek bos ...
Powered by T-sel BlackBerry®

===========
From: Fajar Aji Suryawan <fajaraji@gmail.com>

Pak Rudi,

Koordinasi di negeri ini memang sulit sekali. 

Dulu pernah kami sekali hadir di rapat yang diudang oleh Kementerian Perdagangan. Mereka akan buat aturan yang mengikat operator telekomunikasi. Sudah ada draft PM-nya. Intinya tentang perlindungan konsumen. Mereka merasa berhak karena basisnya adalah UU 8/1999. Tapi lucunya, Kominfo tidak dilibatkan. Waktu kami sarankan untuk berkoordinasi dengan Kominfo, mereka malah marah2 dan menganggap operator  nggak mau diatur, hehe….

Di kasus IM2, Kominfo dan Kejagung juga sama2 di bawah Kemenko Polhukam, tapi pendapat keduanya bertolak belakang. Mempertahankan ego masing2 nampaknya sedang mewabah saat ini. Ujung2nya para pelaku industri yang direpotkan.

===
[rr] Kami juga sering mengalami hal yang sama. Itu kelemahan klasik di negeri ini. Contoh lain adalah nanti Ketika UU Perdangangan sudah aktif, maka nanti draft Permen  dan aturan ecommerce nya a kan jalan sendiri  sendiri di Kementrian perdangan dan di Kominfo dibawah  PP 82/ 2012 . Yah itulah yang kerap sekali terjadi.
Anehnya kalau urusan yang membebani seperti stiker OK dengan jargon demi merah putih, tapi yang malah jelas lebih merah putih misalnya kenapa pajak  bea masuk komponen dan suku cadang  lebih mahal dari impor barang jadih sudah dari dulu ngak pernah tuntas. aneh khan kalau mau bicara merah putih atau national interest ? 

4 komentar:

Unknown mengatakan...

biasa lah itu korupsi berjamaah ! bagi bagi hasil rampasan rakyat

Unknown mengatakan...

korupsi berjamaah sudah mendarah daging. apalagi sudah mau habis masa jabatan wakakakakak aji mumpung. kacau indonesia raya

Unknown mengatakan...

beberapa berita sekitar stiker di harian Merdeka :
http://www.merdeka.com/teknologi/stiker-kemenperin-pada-perangkat-ti-merepotkan.html

Unknown mengatakan...

berita tanggapan soal stiker... apa iya ngak untung sih. Yang eksplisit di dapat adalah Rp 7.5 M (over the table) ... how about under the table ????
entah lah

http://www.merdeka.com/teknologi/asosiasi-ti-klaim-tak-ambil-untung-dari-stikerisasi-notebook.html